Kampung Bena, Kampung Megalitikum Dalam Pelukan Gunung Inerie

kampung bena
Di dalam Kampung Bena ini ada batu-batu runcing berukuran besar. Formasi batu berusia 120o tahun yang ada di dalam kampung tersebut membuat pengunjung berasa ada dalam zaman megalitikum. Selain itu ada pula batu seperti lapangan yang bertingkat di tengah-tengah kampung yang biasanya digunakan untuk berteduh di bawah payung rumbia.
Menurut kepala suku Bena, batu-batuan yang tersusun vertikal di kampung tersebut merupakan kuburan leluhur mereka yang sudah berumur ribuan tahun.

Kampung Bena Memiliki 9 Suku

kampung bena
suku kampung bena via http://travel.kompas.com
Di Kampung Bena ada 45 rumah mengelilingi halaman tengah kampung yang terdapat ngadhu, yaitu simbol kekerabatan dari generasi ke generasi. Ada 9 suku dari 45 rumah yang saling berhadap-hadapan tersebut, yaitu suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku Ago, suku Deru Solamae, suku Deru Lalulewa, suku Khopa, dan suku Ngada. Suku-suku tersebut memiliki perbedaan tingkatan, dan tingkatan yang paling pertama adalah suku yang dianggap paling tua yaitu suku Bena. Tingkatan yang paling atas dinamakan suku Bena menyesuaikan dengan nama Kampung Bena.
Simbol ngadhu adalah sebuah kayu yang bentuknya memanjang yang diukir dengan motif sawa, beratap alang-alang dan ijuk dengan dua tangan memegang parang dan tombak.
Pada awalnya hanya memiliki satu klan (suku). Tetapi karena perkawinan dengan suku lain menjadikan suku yang berkembang semakin banyak. Meskipun Kampung megalitikum ini memiliki banyak suku, tetapi semua masyarakatnya saling menghormati.
Hal tersebut mereka perlihatkan ketika ada yang membangun rumah adat, mereka bergotong-royong untuk membangunnya. Ketika ada acara adat pun biasanya para tetua dari semua suku berkumpul untuk musyawarah.
Penduduk Bena mayoritas menganut agama katolik. Mata pencaharian suku Bena sebagian besar adalah peladang dan petani. Bukan hanya umbi-umbian dan kacang-kacangan, tetapi mereka juga mendapatkan penghasilan dari berkebun kopi, kemiri, dan sebagainya yang tumbuh di Gunung Inerie.
kampung bena
Para penduduk wanita sebagian besar memilih untuk menenun dan dijual kepada wisatawan yang datang. Keahlian menenun dari para penduduk wanita merupakan turunan dari nenek moyang mereka. Motif kain tenun yang para penduduk wanita buatpun ada beragam, seperti jara (kuda), wa’l manu (cakar ayam), ngadhu, dan lain sebagainya.
Motif-motif tersebut juga memiliki makna. Motif jara berarti kuda yang mereka gunakan sebagai transportasi serta mas kawin dan wa’l manu yang memiliki makna bahwa mereka sedang berada dalam tahapan awal mencari ilmu untuk masa depan mereka.
Perjalanan ke Kampung Bena dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua dari pusat Kota Ngada karena medannya yang halus, namun berkelok-kelok. Perkampungan Bena dibuka untuk wisatawan jam 08:00 hingga 17:00 WITA.
Tidak ada tiket untuk masuk kedalam kampung megalitikum ini. Tetapi penduduk kampung akan meminta pengunjung untuk mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya ke kotak yang telah disediakan. http://www.stipram.ac.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sawah Berbentuk Jaring Laba-Laba di Manggarai ini, Hanya Satu-Satunya di Dunia

Asyiknya Mencoba Wisata Mata Air Panas di Soa, Bajawa, Flores, NTT

Etu, Tinju Adat di Boawae Ditetapkan Jadi Warisan Budaya Nasional